Sahabat dalam Bait Do'a
Sabtu, 26 Maret 2011
Masjid Shiratal Mustaqim
Setelah hujan deras mengguyur kota Samarinda di hari pertama Idul Fitri, hari itu panas terik kembali menyengat Ibu kota Kalimantan Timur. Namun tak menyurutkan niat untuk berkunjung ke sebuah bangunan tua yang dikenal sebagai Masjid tertua di kota ini. Masjid Shiratal Mustaqim yang terletak di Kelurahan Masjid Samarinda Seberang. Untuk mencapainya dari kota Samarinda, kita harus menyeberangi sungai Mahakam melalui Jembatan Mahakam yang selalu padat itu.
Masjid ini didirikan tahun 1881 oleh Sayyid Abdurrahman BinMuhammad Assegaf atau dikenal sebagai Pangeran Bandahara, Kapitan Jaya, Petto Loloncong dan Usulonna. Setelah masuknya Islam lewat syiar Islam yang dikenalkan pedagang dari Sulawesi Selatan.
Sedikit menilik ke belakang, kota Samarinda dipercayai didirikan oleh orang Bugis dari Kerajaan Gowa setelah Kerajaan Gowa dikalahkan oleh Belanda sekitar abad 16. Sebagian pejuang Bugis yang menentang keras pada keputusan Belanda, memilih untuk berhijrah ke daerah yang dikuasai oleh Kerajaan Kutai kala itu. Kedatangan mereka ini disambut baik oleh Raja Kutai yang ditunjukkan dengan pemberian sebuah lokasi pemukiman di sekitar kampung melantai, suatu daerah dataran rendah yang baik untuk usaha Pertanian, Perikanan dan Perdagangan. Sesuai dengan perjanjian bahwa orang-orang Bugis Wajo harus membantu segala kepentingan Raja Kutai, terutama didalam menghadapi musuh. Orang-orang Bugis Wajo mulai menetap di lokasi tersebut pada tahun 1668, tepatnya Januari 1668. Lama kelamaan kawasan ini berkembang dan dikenal dengan sebutan Samarinda, yang berasal dari kata �sama rendah� yang dimaksudkan untuk menunjukkan persamaan hak dan kedudukan masyarakatnya. Inilah sejarah Kota Samarinda yang juga melatarbelakangi pendirian Masjid Shirathal Mustaqim ini.
Sejak masjid ini didirikan hingga kini tak banyak mengalami perubahan. Hanya bagian atap saja, bagian dalam masjid masih utuh dan tak pernah ada perubahan. Bentuk limas bersusun empat dengan atap sirap (atap kayu ulin � khas Kalimantan) ditambah menara setinggi 21 meter menambah megah Masjid yang pernah meraih juara dua dalam festival masjid tua di seluruh Indonesia. Selain bentuk dan bahan yang masih dipertahankan, sebuah mimbar bagi penceramah juga tetap terjaga dan ditempatkan pada posisinya yang berada di tengah-tengah masjid yang hampir keseluruhan terbuat dari kayu ulin itu. Karena itulah Masjid ini tak lapuk dimakan jaman, kayu ulin yang juga dikenal dengan nama kayu besi adalah termasuk kayu-kayu awet yang kini sudah mulai sulit didapat.
Note : Catatan ini saya ambil dari berbagai sumber, bukan bermaksud menciplak tp untuk memudahkan rekan rekan untuk mencari informasi mengenai Masjid Shiratal Mustaqim.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar